Bentuk Perusahaan Syari’ah dan Landasan Akadnya
Bentuk Perusahaan Syari’ah dan Landasan Akadnya
Di dalam
perekonomian Islam bentuk atau jenis dari organisasi- organisasi bisnis (usaha)
yang ada secara umum antara lain dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk atau
jenis utama, antara lain yaitu jenis organisasi bisnis perusahaan perorangan (sole
proprietorship), bentuk persekutuan (partnership),dan mudharabah.
1.
Perusahaan perorangan (sole proprietorship)
Perusahaan
perorangan (sole proprietorship) merupakan format organisasi bisnis yang
paling sederhana yang hampir ada dalam setiap sistem ekonomi non-sosialis, dan
merupakan bentuk usaha pelaksanaan bisnis yang tertua, dimana bentuk-bentuk
organisasi bisnis lain yang berkembang kemudian adalah berangkat dari bentuk
awal ini sesuai dengan kompleksitas dan kebutuhan hidup sosial dan ekonomi
manusia.
Sebagaimana dalam sistem ekonomi
kapitalis, sistem ekonomi Islam mengizinkan perusahaan swasta (private
enterprise) yang dikelola oleh setiap individu dan tidak mengikat mereka
secara khusus, selama usaha atau bisnis yang dijalankannya terikat dengan
ketentuan syari’ah. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa sifat alami bisnis
haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan mendasar yang ditentukan oleh hukum
yang ada. Akan tetapi, bagaimana menjalankannya dan mengelolanya, sejauh ini
dapat diarahkan kepada setiap individu untuk memilih dan menentukan jalan yang
dikehendakinya. Baik yang terkait dengan kepemilikan modal usaha, tenaga kerja
sewa dan faktor-faktor produksi lainnya, termasuk konsekuensi untuk menghadapi
segala resiko kerugian.[1]
2.
Persekutuan/Kemitraan/Syirkah (Partnership)
Merupakan suatu
hubungan antara dua orang atau lebih untuk mendistribusikan laba (profit)
atau kerugian (losses) dari suatu bisnis atau usaha yang dijalankan oleh
seluruhnya atau salah satu dari mereka sebagai pengelola atas yang lain.
Secara implisit
dapat disimpulkan bahwa dua orang atau lebih dapat menyatukan sumber daya yang
mereka miliki untuk menjalankan suatu bisnis secara bersamaan, sebab mereka
tidak dapat mengelolanya dengan sendiri-sendiri. Yang terpenting dalam bentuk
kerjasama ini adalah masing-masing pihak harus memiliki andil modal dalam usaha
tersebut. Bentuk usaha perserikatan ini dikenal dengan istilah syirkatul
‘Inan atau Syirkatul mufawwadah. Sedangkan bentuk persekutuan usaha,
di mana seseorang memiliki nama baik menjalankan usaha dengan menggunakan modal
orang lain dikenal dengan istilah persekutuan syirkatul wujuh.
Dalam definisi
tersebut juga terkandung harus adanya persetujuan hubungan terhadap bentuk
bisnis yang akan dijalankan sesuai dengan undang-undang, dengan tujuan mendistribusikan
laba atau kerugian yang mungkin timbul dari bisnis yang dijalankan tersebut,
dan bukan merupakan persetujuan untuk beramal. Dalam hal ini semua mitra
berkedudukan sebagai agen dan memiliki wewenang yang sama antara satu dengan
yang lainnya, kecuali jika salah satu dari mereka tidak aktif berpartisipasi
dalam menjalankan usaha.
Di dalam kemitraan
pendistribusian laba yang akan diberikan diantara para pihak (mitra) diatur
sesuai perbandingan (ratio) yang telah disepakati. Sementara
pendistribusian kerugian akan dibagi berdasarkan perbandingan jumlah modal yang
diikutsertakan (investasi), sesuai dengan konsep laba dan rugi dalam definisi
di atas. Dan menurut aturan hukum Islam bahwa semua kerugian yang terjadi dalam
usaha yang dijalankan secara bersama itu harus dipikul oleh pemilik modal,
kecuali kerugian yang terjadi dapat ditunjukkan dengan jelas (dapat dibuktikan),
sebagai akibat dari resiko yang di luar kemampuan manusia. Terkait dengan hal
ini bahwa laba yang akan dibagikan kepada para pihak dapat diberikan setelah
kerugian yang telah terjadi telah dihapuskan (ditutupi), dan modal awal yang
ada kembali utuh.
Semua mitra usaha (Partner)
yang ikut ambil bagian dalam kontrak organisasi bisnis ini, pada dasarnya
memiliki hak-hak dan kewajiban yang jelas dan mengikat mereka. Secara implisit
dapat digambarkan sebagai berikut :
a)
Setiap mitra memiliki hak untuk menjual barang-barang secara kredit
tanpa terlebih dahulu meminta izin secara tegas kepada mitra lain, dengan
demikian semua mitra menjadi terikat dengan penjualan barang-barang dengan kredit
tersebut.
b)
Setiap mitra berhak untuk menerapkan semua hak yang dimiliki dan
melaksanakan semua aktivitas bisnisnya sebagai bagian dari usaha tersebut.
c)
Masing-masing mitra memiliki hak untuk mendapatkan uang atau
keuntungan yang kemudian dapat dipakai untuk mengelola bisnis pribadinya, tanpa
persetujuan pihak lain.
Secara eksplisit,
hak-hak yang dimiliki para mitra adalah setiap mitra harus mendapatkan izin
dari semua mitra lain di dalam berbagai hal berikut :
a)
Meminjamkan uang perusahaan kepada pihak ketiga, ataupun melakukan
peminjaman modal untuk perusahaan dari pihak ketiga atau dari seorang mitra.
b)
Membeli bahan-bahan yang akan dijual secara kredit melebihi dari
total likuiditas bisnis setiap waktu.
c)
Mengajak pihak ketiga untuk menjadi mitra.
d)
Memebrikan sebagian modal perusahaan untuk membiayai bisnis lain.
e)
Menjalankan bisnis sendiri dengan mitra lain yang dapat
mempengaruhi hubungan bisnis pada setiap kapasitas.
f)
Kegiatan lain yang dapat merugikan kepentingan-kepentingan partner
yang lain dalam bisnis.
Kewajiban-kewajiban mitra :
a)
Para mitra bertanggung jawab secara luas kepada modal yang
dimiliki, termasuk dengan melakukan pinjaman dari luar. Artinya, jika suatu
persekutuan perusahaan tidak melakukan pinjaman dari sumber manapun, maka
dengan sendirinya hal itu hanya mengikat saham yang dimiliki saja. Akan tetapi
jika para mitra yang satu dengan yang lain menyetujui meminjam uang dari luar,
maka para pihak akan terikat kewajiban untuk melakukan pembayaran kepada
kreditur dan akan dapat dikenakan kewajiban sesuai dengan komitmen yang disepakati.
b)
Tidak seorang pun (sesuai dengan ketentuan syari’ah) bertanggung
jawab atas kewajiban orang lain.
c)
Jika kredit diperoleh lebih dari total likuiditas yang ada dan
sesudah itu bisnis mengalami kerugian dan tidakbisa mengatasinya,maka kerugian
atas sejumlah pinjaman tersebut akan menjadi tanggungan semua mitra dalam porsi
yang sama dan bukan dibebankan berdasarkan rasio atau perbandingan modal yang
diikutsertakan.
Di dalam kontrak
kerjasama ini, pemutusan hubungan kerjasama dapat terjadi jika adanya
kesepakatan apabila salah satu dari mitra melakukan tindakan yang dapat
menyebabkan kerugian atas kepentingan pihak lain; salah satu dari mitra
meninggal dunia, menjadi gila atau tertimpa sakit sehingga tidak mampu
melaksanakan tugas-tugasnya; periode masa kontrak telah berakhir; dan tujuan
dari kerjasama ini telah terealisasi.[2]
Dalam pelaksanaannya, perkongsian
atau kemitraan secara bersama-sama meraih kemajuan bersama. Kemitraan ayau syirkah
ini mungkin akan lebih efektif dan lebih membangkitkan etos kerja jika
dibandingkan dengan melakukan peminjaman, baik ke perorangan ataupun ke bank.
Dilihat dari proses kemitraan, semua orang yang bergabung sama-sama mempunyai
hak dan tanggung jawab yang seimbang dengan besarnya sahamyang dimiliki. Semua
mempunyai kedudukan yang sejajar dan sama-sama punya tanggung jawab untuk
memajukan usaha yang dikelola.[3]
3.
Mudharabah
Mudharabah adalah
penanaman modal dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana
(mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau
metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.[4]
Implikasi dari pengertian mudharabah sebagai berikut :
a.
Persetujuan tidak terbatas hanya antara dua orang saja, akan tetapi
dapat lebih dari jumlah tersebut.
b.
Dalam setiap persetujuan terdapat dua pihak yang terlibat. Pertama,
pihak penyedia modal usaha sebagai pihak utama (principal), dan Kedua,
pihak pengelola (yang menjalankan bisnis atau usaha) yang disebut entrepeneur
atau sebagai seorang agent.
c.
Dalam hal ini pihak pengelola dapat membawa modalnya sendiri untuk
kepentingan usaha yang dijalankannya, tetapi perlu mendapat persetujuan dari
pihak pemilik modal. Dalam hal ini, modal yang berada pada pihak pengelola
bukan merupakan suatu bentuk pinjaman, melainkan berfungsi untuk menjalankan
bisnis yang telah disepakati oleh pemilik modal dengan kesepakatan mendapatkan
porsi keuntungan dari bisnis tersebut.
Pengalokasian keuntungan antara
pemilik dana dan pengelola dibuat berdasarkan kesepakatan antara kedua belah
pihak. Tidak boleh dibuat berdasarkan jumlah atau nominal pasti sebelum
berjalannya bisnis tersebut, hanya dalam bentuk persentase atas keuntungan yang
akan diperoleh.
Sedangkan menurut aturan umum
syari’ah, pengalokasian kerugian yang terjadi di tanggung seluruhnya oleh
pemilik dana dan tidak dapat ditangguhkan kepada pihak pengelola. Karena pihak
pengelola hanya berkedudukan sebagai agen dari pemilik modal, selama kerugian
yang terjadi bukan kerena keteledorannya. Oleh karenanya pihak pengelola dalam
hal ini tidak akan mendapatkan bagian apa-apa jika terjadi kerugian dalam
bisnis yang dijalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bisnis syari’ah terkandung
prinsip keadilan. Siapapun berhak untuk mendapatkan keuntungan, sekaligus juga
dapat mengalami kerugian.[5]
Dalam mudharabah, pemilik dana tidak
boleh mensyaratkan sejumlah tertentu untuk bagiannya karena dapat dipersamakan
dengan riba yaitu meminta kelebihan atau imbalan tanpa ada faktor penyeimbang (iwad)
yang diperbolehkan syariah. Keuntungan yang dibagikan pun tidak boleh
menggunakan nilai proyeksi akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi keuntungan,
yang mengacu pada laporan hasil usaha yang secara periodik disusun oleh
pengelola dana dan diserahkan pada pemilik dana.
Pada prinsipnya dalam mudharabah
tidak boleh ada jaminan atas modal, namun demikian agar pengelola dana tidak
melakukan penyimpangan, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana.
Tetapi jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau melakukan pelanggaran terhadap
hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.[6]
Akad mudharabah dibedakan menjadi
dua macam yang didasarkan pada jenis dan lingkup kegiatan usaha mudharib,
yaitu :
1)
Mudharabah Mutlaqah
Adalah perjanjian mudharabah antara shahibul
maal dan mudharib, dimana pihak mudharib diberikan kebebasan
untuk mengelola dana yang diberikan. Mudharabah Mutlaqah ini
diaplikasikan oleh bank syariah dalam kegiatan menghimpun dana (funding)
dari masyarakat.
2)
Mudharabah Muqayadah
Adalah perjanjian mudharabah yang
mana dana yang diberikan kepada mudharib hanya dapat dikelola untuk
kegiatan usaha tertentu yang telah ditentukan baik jenis maupun ruang
lingkupnya. Mudharabah Muqayadah ini diaplikasikan oleh bank syariah
dalam kegiatan penyaluran dana (lending) kepada masyarakat sehingga
dapat mempermudah bank dalam melakukan kegiatan monitoring terhadap usaha yang
dilakukan oleh nasabah.[7]
Seperti halnya dalam bentuk
persekutuan (partnership), kontrak mudharabah dapat dicabut kembali
setiap saat, jika dalam kontrak tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi pihak
yang terkait, karena adanya kematian atau terganggunya akal salah satu pihak
yang terlibat.
Kontrak
mudharabah juga dapat dijalankan terus oleh pihak lain yang terlibat
mengelolanya. Dengan demikian hal ini akan memberikan kesempatan bagi pihak
yang tidak bubar untuk tetap terus menjalankannya, dan tidak perlu untuk
membubarkannya.
Struktur penyertaan saham perusahaan
modern sekarang ini, dapat ditemukan beberapa variasi konsep yang serupa dengan
konsep mudharabah, diantaranya :
a)
Seperti halnya mudharabah, dimana penyertaan saham perusahaan juga
memiliki pembagian antara kepemilikan dan pengawasan.
b)
Tidak adanya batasan jumlah pemegang saham yang terdapat di dalam
suatu bentuk penyertaan saham perusahaan.
c)
Pemindahan saham atau bagian dari seorang pemilik modal kepada yang
lainnya tidak akan menyebabkan perusahaan tersebut bubar.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa yang membedakan antara bentuk penyertaan saham
perusahaan modern sekarang ini adalah hanya garis-garis syari’ah yang
diterapkan di dalam bisnis mudharabah.
IMPLEMENTASI SYIRKAH DALAM PERUSAHAAN BISNIS
Perusahaan adalah
suatu unit kegiatan tertentu yang mengubah sumber-sumber ekonomi menjadi
bernilai guna berupa barang dan jasa dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
dan tujuan lainnya. Dalam syar’ah tujuan tersebut adalah falah, yaitu
kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat yang dirahmati Allah SWT.
Menurut Ghazali,
Omar, dan Aidit (2005:456), konsep perusahaan yang dikenal sebagai syahsiyah
i’tibariyah berdasarkan prinsi-prinsip qiyas (analogi) dan istishna
atau mashalih mursalah (kepentingan umum). Misalnya, keberadaan bayt al-mal, dan lembaga waqaf yang menunjukkan
pengakuan konsep perusahaan dengan badan hukum yang terpisah.
Pada prinsipnya,
kegiatan perusahaan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis usaha :
1)
Jenis usaha perdagangan atau distribusi,yaitu usaha yang bergerak
dalam kegiatan memindahkan barang dari produsen ke konsumen.
2)
Jenis usaha produksi/industri, yaitu usaha yang bergerak dalam
kegiatan proses pengubahan barang menjadi barang lain yang mempunyai nilai
tambah.
3)
Jenis usaha komersial, yaitu usaha yang bergerak dalam kegiatan
pelayanan atau menjual jasa.
Ditinjau dari aspek kepemilikan, secara umum bentuk organisasi
bisnis terbagi menjadi tiga, yaitu perusahaan perseorangan, perusahaan
persekutuan (kemitraan), dan perusahaan perseroan. Berikut adalah definisi dan
karakteristik bentuk-bentuk organisasi bisnis tersebut dan disertai dengan
tinjauan kontrak syari’ah yang mendasarinya.
1)
Usaha Perorangan
Menurut
Sumarni dan Soeprihanto (2010:44), usaha dimiliki, dikelola, dan dipimpin oleh
seseorang yang bertanggung jawab penuh terhadap semua resiko dan aktivitas
perusahaan.
Dalam hal izin usaha relatif mudah
didirikan dan paling murah untuk merintisnya. Kelangsungan hidup bisnis relatif
mudah terhenti. Pendapatan bisnis dan penghasilan pribadi dilihat sebagai satu
kesatuan dalam hal perpajakan, dan mengandung resiko relatif sulit memperoleh
sumber dana dari pasar keuangan.
2)
Usaha Pola Kemitraan
Bentuk perusahaan ini dapat berupa firma
(Fa) dan persekutuan komanditer (CV). Seperti halnya usaha perorangan, usaha
kemitraan mengandung kewajiban yang tidak terbatas bagi para mitranya.
Kelangsungan bisnis ini relatif terbatas karena bergantung pada kondisi
masing-masing mitra. Pendapatan bisnis yang dihasilkan digabung dengan
penghasilan pribadi untuk tujuan pajak. Berbeda dengan usaha perorangan, dalam
kemitraan lebih dari satu orang yang terlibat sehingga diperkirakan mempunyai
kesempatan untuk memperoleh lebih banyak sumber modal dari pasar keuangan.
Kemitraan modern memiliki kemiripan
dengan usaha-usaha yang dijalankan pada masa klasik yaitu usaha dengan pola mudharabah
dan musyarakah. Berikut ini penjelasan tentang mudharabah,
musyarakah, kombinasi keduanya dan musyarakah yang menurun, serta
dibandingkan dengan kemitraan modern seperti firma dan CV.
a. Mudharabah
Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh) mendasarkan pada salah satu sumber hukum ijma’ berikut.
Diriwayatkan sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta
anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka.
Dalam
praktik mudharabah, pembagian keuntungan yang dihasilkan sesuai dengan
rasio yang disepakati sebelumnya, sedangkan jika terjadi kerugian, maka
ditanggung sepenuhnya oleh penyedia dana.[8]
Hikmah
dari sistem mudharabah adalah dapat memberi keringanan kepada manusia.
Terkadang ada sebagian orang yang memiliki harta, tetapi tidak mampu membuatnya
menjadi produktif. Begitu sebaliknya, sehingga dengan akad mudharabah kedua
belah pihak dapat mengambil manfaat dari kerja sama yang terbentuk. Pemilik
dana mendapat manfaat dengan pengalaman pengelola dana, dan sedangkan pengelola
dana dapat memperoleh manfaat dengan harta sebagai modal. Dengan demikian dapat
tercipta kerjasama antara modal dan kerja, sehingga dapat tercipta kemaslahatan
dan kesejahteraan umat.[9]
b. Musyarakah
Bentuk kedua dalam kontrak atau akad syirkah
adalah musyarakah. Berdasarkan Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Musyarakah menimbang bahwa kebutuhan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihaklain,
antara lain melalui pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan
akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu.
Masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan dan
pembiayaan musyarakah memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan
keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian.
Menurut fikih terdapat dua bentuk musyarakah,yaitu :
1)
Musyarakah Amlak (secara
otomatis)
Adalah dua orang atau lebih yang
memiliki barang tanpa adanya akad. Musyarakah ini terbagi menjadi dua
jenis :
-
Syirkah ijbary
(paksaan) ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas
perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi
waris menjadi sekutu mereka.
-
Syirkah ikhtiary
(sukarela) karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu.
2)
Musyarakah ‘Uqud (atas
dasar kontrak)
Merupakan
bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam
harta dan keuntungannya.
Menurut
ulama hanabilah musyarakah ini dibagi dalamlima jenis akad, yaitu: ‘inan,
mudharabah, wujuh,’abdan, dan mufawadhah.
c. Kombinasi
Mudharabah dan Musyarakah atau Mudharabah Musytarakah
Berdasarkan Fatwa DSN
No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah, mendefinisikan Mudharabah
Musytarakah adalah salah satu bentuk akad Mudharabah yang
mensyaratkan pengelola turut menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi.
Hal ini diperlukan karena mengandung unsur kemudahan dalam pengelolaannya dan
dapat memberikan manfaat yang lebih besar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa definisi dan
karakteristik organisasi bisnis CV sebagai tahap awal memperoleh titik temu dengan
landasan akad Mudharabah Musytarakah. Persekutuan komanditer (CV) adalah
yang dibentuk oleh duaorang atau lebih yang terdiri atas pihak yang aktif dan
pihak yang pasif. Hal ini berbeda dengan firma yang dimungkinkan semua
pemiliknya aktif mengelola perusahaan. Pembagian laba dari para sekutu
disesuaikan dengan ketetapan dalam akte pendirian. Pada umumnya ketentuan yang
terdapat dalam akad mudharabah musytarakah relatif dapat melandasi
bentuk CV.
Dengan prinsip mudharabah musytarakah pembagian
hasil investasi antara pengelola dan pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati, kemudian bagian hasil setelah dikurangi untuk pengelola dana (sebagai mudharib)
tersebut dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemodal
sesuai porsi modal masing-masing.
3)
Perseroan
Perseroan Terbatas (PT) adalah badan
hukum (perusahaan) yang terpisah dari pemiliknya yang disebut pemegang saham.
Adanya konsep badan hukum pada perseroan terbatas atau disebut Naamloze
Vennotschap (NV) menyebabkan bentuk perusahaan ini berbeda jauh
dibandingkan bentuk usaha perorangan dan kemitraan.
Menurut Nafik, perusahaan perseroan
merupakan wujud dari bentuk kombinasi antara musyarakah dan mudharabah
yang tertutup (terbatas) dan terbuka.
Berdasarkan tuntunan syari’ah,
konsekuensi akad mudharabah atas pembagian pendapatan (revenue sharing)
ataupun pembagian laba bersih (profit sharing) adalah melibatkan antara
manajemen dewan direksi sebagai mudharib dengan pemegang saham sebagai shahibul
mal.[10]
Good boss tapi gk knek diwoco
BalasHapus